Semakin hari, makin rumit rasanya mengklasifikasikan masyarakat dengan berbagai perangkat kebudayaannya. Terkadang, budaya dengan masyarakat penghasil budaya itu, tak lagi memiliki kaitan dan ikatan yang kuat. Penafsiran filosofis maupun historis atas berbagai simbol maupun etika budaya yang tersisa, nampak makin bias, miskin, dan hampir punah. Masyarakat telah berbaur semrawut menjadi semacam mozaik abstrak.
Bangsa kita yang memiliki beragam etnis, agama, dan adat istiadat. Kita, Bangsa Indonesia, tidak pernah tuntas dengan mega proyeknya untuk mendefinisikan apa dan bagaimana rupa “kebudayaan indonesia” atau “kebudayaan nasional” itu yang sesungguhnya? Tak terbayangkan bagaimana kerumitan mencari benang merah dari ribuan kebudayaan daerah untuk mengkonstruksi sebuah kebudayaan nasional yang utuh dan tunggal. Seperti obsesi Raja Akhenaten dan Ratu Nefertiti yang memberangus dewa-dewa polytheis Mesir Kuno, untuk mengkreasi sebuah tatanan budaya dan religi baru yang bersandar pada monotheisme dewa Ra (Dewa Matahari). Namun, mimpi itu akhirnya hancur lebur menjadi debu, karena rakyat tidak berkenan meninggalkan budaya dan sesembahan lamanya




Nampaknya, pembelaan terhadap suatu kebudayaan (kepercayaan, tradisi, dan kebiasaan) yang dianut suatu bangsa, akan muncul tatkala budaya itu berada dibawah tekanan. Baik tekanan yang berupa “upaya penyeragaman” maupun tekanan dalam bentuk “ancaman kepunahan”. Meskipun demikian, hipotesis di atas tidak serta merta benar. Tergantung seberapa kuat orang-orang yang dirugikan akibat kepunahan suatu kebudayaan itu bereaksi? Kekuatan itulah yang nantinya akan mempengaruhi dan membangkitkan gairah anggota masyarakat yang lebih luas untuk ikut mempertahankan budayanya dari kepunahan. Karakter masyarakat yang ditempa oleh sejarah panjang masa lalunya, akhirnya akan sangat berpengaruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar